Teratai
Dan masih
tersimpan bunga itu meski layu menyergap
Tak perlu terlalu
harum
Tak perlu
terlihat mewah
Tak perlu
menjadi bunga yang indah
Pernah suatu
ketika saya termangu melihat catatan buku teman saya, ia catat semua komitmen
dan keinginan yang ia mulai. Lantas ia berkata, “Cal, kamu tahu kenapa aku
catat?”, “karena suatu saat ketika api ini tidak lagi menyala di otak dan
hatiku, aku harus membuka lembar terdepan dalam buku ini dan melanjutkan
langkahku itu. Bagaimanapun caranya, aku harus bisa mengakhiri apa yang sudah
aku mulai”, katanya sambil tersenyum.
Adegan itu
muncul ketika saya mulai membuka album foto lama saya yang menjadi saksi bisu, ceileeeh. Haha. But completely reminds me something incredible, to have a good friend
inside of me.
Saat itu adalah
musim akhir semester perkuliahan tahun ke-2, pun tahun terakhir di organisasi himpunan.
Tahun dimana terasa menyenangkan dan sekaligus berat. Tanggung jawab yang
diberikan bukanlah hal yang mudah ternyata. Saya yang biasanya memikirkan tugas
sekali jalan, ini harus sembunyi-sembunyi di lorong meja kuliah untuk mengangkat
telpon dari orang tak dikenal. Many people,
many times, indeed! Saya yang biasanya menjawab segala hal dengan nada
datar harus mencoba nada suara yang lembut, kalau orang bilang jualan abab. Banyak sekali hal yang saya alami
saat event terakhir ini.
Pada waktu itu
boleh dibilang saya yang menjadi tumpuhan, awalnya saya merasa percaya diri dan
berfikir everything will be okay, tapi
nyatanya in the last minute, tangisan
pecah di mata saya. Saya mulai tegang, tak tahu harus berbuat apa. Seperti orang
bilang, ternyata ada hal yang memang bisa membuat kita mulai goyah. Bukan hanya
masalah percintaan mbelgedhes, tapi
juga masalah tanggung jawab. Oh my God! Can’t
predict what will be tomorrow.
Malam itupun saya
menghubungi teman yang seharusnya lebih takut dan tegang dari pada saya. Tapi dia
bahkan datang dengan senyumnya sambil bertanya, “Cal, kenapa kamu pucat kayak
gitu? Tenang, semua akan baik-baik saja,”, katanya. Sayapun tak tahu harus
menjawab apa dan hanya menyunggingkan simpul beberapa saat. Kalau dibilang aku iki edan opo piye ya, bingung kudu lapo.
Ia datang lalu mengajak
saya pergi ke balai kota. Ahhh, dalam hati bagaimana saya bisa jalan-jalan
ketika teman saya di berbagai penjuru Indonesia sedang membutuhkan saya. Sesampainya
di balai kota, seperti anak kecil, ia berlari menuju bundaran dan mengambilkan
bunga teratai untuk saya. Hahaaa. Kocak. Lucu disaat yang menegangkan. Kon iku lapo coba mloncat-mloncat gak jelas
ngnu pek. Tapi biasalah, wanita tetap akan menerima sekalipun itu bunga
bangkai dari orang yang care
dengannya. Hahaa
What should we do? What can we do? I’m
trying to hold on my hand and keep everything clear, but nothings happen than
crying.
“Kamu ini kayak
anak kecil aja Cal. Haha. Nanti ku bilang temen-temen kalau kamu nangis,” katanya
sambil tertawa. “Kamu nggak tahu kalau aku takut bos? Aku takut heeeeee!,”
jawabku sambil merengek tak karuan seperti anak kecil. Doh, hina syekali. Haha. Kalau kata Dilan cemburu karena sedang
tidak percaya diri, tapi ini saya sedang tidak percaya diri bukan karena
cemburu. Aaah sekali lagi, bukan hanya rindu yang berat, tapi berpura-pura baik-baik
saja juga berat.
Karena yang tegak bisa saja putus dan menjadi ringkih
Tapi pasti kamu tahu, akan ada teman yang selalu di sampingmu
ceritanya seru kak, eh mbelgedhes apa sih? hehe..
BalasHapushahaa masak gak ngerti sih mas. Aku nda bisa menjelaskannya :D
HapusSeriusan sekarang masih ada bunganya?
BalasHapusmmh, sepertinya masih. Tapi tinggal coklat-coklat kering kerontang tak bertuan :D
Hapus