Belajar (lagi)
BELAJAR (lagi)
“Ngerti wong seng positif iku ndak mbak?”,
tanya Kamto kepada Sumarni dalam pesan singkat. Ya, ini masih seputar wabah
yang sudah menggemparkan bumi beberapa pekan terakhir. Bahkan sekarang
kecamatan yang berbatasan langsung dengan desa Sumarni sudah ada yang
terjangkit wabah ini.
“Nggak ngerti, to”, jawab Sumarni cepat.
“hmmmm...
ingin ku santet dari sini”, sahut Kamto.
“Ngawur kon, lama-lama kamu mirip
presiden negara sebelah. Senjata dia pistol, lha kamu senjatanya santet”, tukas Sumarni dengan heran sambil
tertawa melihat pesan singkat itu.
“Excatly, andai yang mati karena pistol
presiden itu dari negara kita sudah pasti akan aku gituin. Ya jelas tho, santet ini tujuannya untuk
melestarikan herritage negara kita,” dalih
Kamto yang kali ini Sumarni membayangkan bagaimana ekspresi Kamto saat
menjelaskan demikian.
Sumarni
menyeringai mendapati pesan dari Kamto tersebut. Memang Presiden negara
tetangga kabarnya dengan mudah menghentikan penularan virus itu dalam
negaranya. Jika ada yang kedapatan positif tertular makhluk tak kasat mata itu,
maka satu menit kemudian sudah pasti mayatnya juga akan ditemukan dengan luka
tembak. Solusi ini mungkin terlihat menyeramkan, tapi memang solusi itu mungkin
ada benarnya pula jika di pikirkan dengan logika. Lebih baik kehilangan satu
nyawa daripada virus akan tersebar dan tidak hanya akan menghilangkan banyak
nyawa tapi juga banyak hal lain terutama stabilitas ekonomi.
Membahas
usul Kamto tadi, memang benar daerah yang ditinggali Sumarni masih kental
dengan klenik, keyakinan dengan makhluk lain yang tak kasat mata. Salah satunya
adalah santet hasil buatan manusia dan makhluk tak kasat mata itu. Sudah
menjadi barang lumrah dan menjadi bahan bibir masyarakat umum ketika ada yang
sakit mendadak, seperti tiba-tiba perutnya membesar, mengeluarkan jarum, silet
dan masih banyak hal lain yang bisa dibuat dari santet itu. Kerjasama dengan
setan seolah-olah sudah seperti mencari ayam di peternakan, banyak dan mudah
didapatkan. Pernah sesekali Sumarni berbincang sore dengan tetangganya, Sri.
“Wong iku kok iso ya mbak usahane iku lancar
banget koyok jalan tol. Ape tumbas opo ae ketekan, dolan nengdi ae karek tuku
tiket. Mantep banget!”, gumam Sumarni kepada Sri.
“Yo nggak usah nggumun, biyen pas cilikanku
iki pernah lo neng radio iku diumumne sopo ae wong-wong seng nglalap berkah
neng makam kramat sandeng kali kae. Yo nggak popo lek ndungane iku kanggo Gusti
Pengiran. Lha lek liane pye? Desone adewe iki jan wes meh ireng warnane, alias
meh kabeh parane rono,” jelas Sri sambil tertawa kecil.
“Ya Gusti, mosok ngunu mbak? Luar biasa yooo!”,
Sumarni menjawab sambil mengernyitkan dahinya. Ia mulai berfikir apakah begitu
mudahnya bekerjasama dengan setan, apakah mereka tidak tahu dosa atau apakah
mereka tidak takut dan meyakini hari akhir? Siksa kubur? Sumarni hanya bisa ndomblong sambil menggaruk kepalanya
yang tidak tahu menjadi gatal karena apa. Hal itu benar-benar baru ia dengar
dan sungguh sangat mencengangkan bagi dara berusia dua puluh tahun itu.
Kembali
setelah mendapati pesan singkat dari Kamto, Sumarni mulai mengingat-ngingat apa
yang terjadi dengan wabah sekarang ini. Beberapa hari lalu ada kabar berita
salah satu perawat yang terjangkit wabah ini saat bertugas akhirnya harus
gugur, tapi malangnya warga desa menolak pemakaman jenazah perawat itu. Berita
itu begitu menggemparkan, seolah-olah manusia lupa untuk memanusiakan manusia
lain. Manusia lupa caranya ngrogoh rasa
kamanungsan. Bagaimana jika ada keluarganya atau bahkan ia sendiri yang
terjangkit, Sumarni membayangkan betapa hancur hati keluarganya. Perawat itu
mengambil keputusan untuk tetap bertugas demi pasien yang sakit, tapi bagaimana
jika tidak ada perawat lagi yang akan bekerja karena mereka juga takut terlular
wabah ini? rasanya mengecek ulang segala sesuatu memang harus kita lakukan.
Entah itu niat baik, impian segalanya yang berhubungan dengan diri kita karena
pasti akan mempengaruhi orang lain.
Satu
hal lagi yang Sumarni pikirkan. Tiba-tiba ia mendekati ibunya dan berkata: “Mak, koyok e pener omonge wong tuwek biyen.
Lak awak e arep melbu omah tekan lungan iku kudu ngresiki tangan lan sikel neng
ngarepan. Makane mesti enek padhasan neng ngarep omah. Lha saiki kerno wabah
iki wong-wong podo bingung ngresiki tangan lan gae padhasan”.
“Makane iku tho, ngrungokne wong tuwek biyen
iku mesti enek penere. Coba dipiker-piker maneh pituture wong biyen. Mesti enek
alasane lan enek penere dingge adewe”, tanggap ibunya. Sambil
menganggukkan kepala Sumarni mengamini perkataan ibunya.
Mungkin santet adalah senisulat tradisional wkwkwkwk
BalasHapusManusia banyak belajar lagi akhir-akhir ini, bukan belajar bagaimana menciptakan teknologi yang super canggih, tapi belajar bagaimana mencuci tangan dengan baik
santet adalah salah satu budaya adiluhung bangsa kita mas😂 merdeka!
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMungkin, memang pola hidup ini bentuknya siklikal, ya. Muter aja gitu.. Jadi penemuan sekarang ini sebenarnya pengulangan apa yang sudah ada di masa silam saja, contohnya Padasan tadi.
BalasHapusiya mungkin ya mas. soal wabah juga kan sebenarnya dulu pun sudah ada. kalo orang jawa bilang musim pagebluk ini, cuman berintanya nggak semasif sekarang
Hapus