Cengkir Gading


CENGKIR GADING

Malam ini Jiwo menyediri di depan rumahnya. Ia duduk di salah satu sofa yang sudah cukup lusuh berwarna coklat dengan senderan empuk di bagian punggung. Selain sofa itu, ada bangku tua panjang berbahan kayu jati dengan empat kaki di keempat poncotnya. Ada secangkir kopi menemani diatas bangku tua itu, mengepulkan asapnya yang masih panas. Sambil menyeruput sedikit demi sedikit kopinya, Jiwo memandangi sekitar rumahnya. Suara jangkrik menggangsir bersautan dengan suara angin yang hilir mudik. Ia melihat pohon mangga dengan lebat daun serta buah di halaman rumahnya, yang sesekali tertiup angin bergeseran riuh rendah. Jiwo kembali mengingat masa kecilnya saat masih bermain berlarian ditemani sang ayah yang baru saja seminggu lalu meninggalkan ia pergi dari dunia ini. Kesedihan masih terlihat jelas dalam mimik muka berbetuk oval dengan mata bulat dan kumis hitam tebal menutupi mulutnya yang hitam karena kesukaannya menghisap puntung rokok itu. Seketika ia mengingat kejadian saat malam hari tepat dimana ia duduk sekarang, dua puluh tahun yang lalu.

Grek, terdengar suara decitan pintu yang bersenggolan dengan lantai plester rumahnya. Katijo, ayah Jiwo, menghampirinya yang duduk di sofa kesukaannya.

Nyapo kowe le?”, tanya Katijo.

Ndak nyapo-nyapo pak, iki mung nunggu jangkrik sopo ngerti metu akeh wengi iki, dingge pakan manuk”, jawab Jiwo dengan santai.

Le, jajal kene tak omongi! Rungokno tenan yo le”, pinta Katijo pada Jiwo yang sedari tadi sibuk bersiul untuk menarik perhatian serangga itu. Dalam sekejab Jiwo datang mendekat pada bapaknya.

Le, bapak ndue cita-cita awakmu sok iso dadi Lurah. Sok pamane ketekan, ojo lali kowe kudu tetep dadi manungso seng jujur koyok cengkir gading lak jarene wong tuwek biyen”, tambah Katijo menerangkan.

La nyapo kok cengkir gading, pak e?”, tanya Jiwo dengan wajah polosnya yang tak tahu maknanya.

Cengkir gading iku kelopo seng warnane kuning, jek enom rasane legi banget, tapi wit-witane ndak duwur-duwur banget. Maksute iku dadi kowe sok lak jek enom iku kudu dadi wong cengkir, kencenge piker, kudu jujur lan disenengi wong akeh mergo berguna”, terang Katijo sambil menyeruput wedang jahe yang sedari tadi dibuatkan oleh istrinya.

Tak terasa tetesan air mata jatuh dari mata Jiwo mengingat pesan ayahnya yang bermimpi Jiwo bisa menjadi pemimpin itu. Dan memang benar, Jiwo sudah enam tahun menjadi Lurah di desanya. Tahun ini ia kembali terpilih menjadi Lurah dan meneruskan kepemimpinannya di periode kedua.

“Dunia ini memang susah-susah gampang, ya”, gumam Jiwo sendirian. Sebenarnya Jiwo sangat gusar karena ia harus kehilangan persaudaraan dengan mantan lurah Pingi akibat persaingan mereka saat kontestasi pemilihan lurah kemarin. Jiwo kembali mengingat satu pesan lagi yang ia dapat dari ayahnya saat ia terpilih kembali menjadi Lurah meneruskan kepemimpinannya: “Le, ojo lali pandangane urip wong Jowo, Sangkan Paraning Dumadi. Awakmu kudu ngerti asal muasalmu, tujuanmu urip lan mbalekmu bakale nengendi”.

Dalam bahasa jawa kuno, sangkan berarti asal muasal, paran adalah tujuan, dan dumadi adalah yang menjadikan atau berarti sang pencipta. Jadi yang disebut Sangkan Paraning Dumadi adalah pengetahuan tentang dari mana manusia itu berasal dan akan kemana ia kembali. Keberadaan manusia di dunia ini tentunya ada yang Maha segalanya, yang menciptakan segala sesuatu, dan tempat akhir kita kembali. Selain itu, dari sangkan-paran kita belajar bahwasannya siklus manusia ini berputar, sebagai contoh adalah perjalanan air laut yang menguap karena tersinari matahari, lalu menjadi awan dan turunlah hujan dan pada akhirnya akan kembali lagi ke laut. Tentu perjalanan air laut itu tak semudah yang kita bayangkan, ada yang dihantam ombak, ada yang urung jadi hujan, ada yang tertempel di daun, dan masih banyak yang lainnya. Sama seperti kehidupan manusia yang prosesnya tak semulus yang kita bayangkan, berliku-liku, ada sedih ada bahagia, ada baik ada buruk, ada orang baik ada penjahat dan seterusnya hingga kembali ke awal mula.

“Yah, ayah”, suara anak Jiwo dari dalam rumah membuyarkan pergumulan batin Jiwo sedari tadi.   


Komentar

  1. entah, membaca tulisan yang seperti ini, aku semakin yakin bahwa jowo memang nggone simbol. warbyasah....

    Masih belum habis pikir, kenapa mbah-mbah kita bisa mendapat ilmu laku urip yang begitu tinggi. sedangkan anak cucunya yang mengklaim hidup di jaman modern, masih sering dibuat takjub oleh filosofi2 yang lahir di jaman lalu.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanpa Judul

Let's go to Pantai Ngalur Tulungagung

Dari Kediri ke Tulungagung