DICARI PEMIMPIN



Ribut-ribut soal pemilihan lurah di desa menjadi makanan sehari-hari warga beberapa bulan belakangan. Kontestasi yang di bilang mashur ini membuat tidak sedikit orang yang ingin menduduki kursinya. Tak lebih sengit dari pemilihan presiden yang menjadi sarang kekuatan dan kedikdayaan penyokong. Bukan hal yang mudah untuk menjadi pemimpin, tapi anehnya masih banyak orang yang berlomba-lomba menunjuk dirinya sendiri untuk menjadi kepala keluarga bagi dua puluh ribu lebih warga desa kami. Membayangkannya saja tidaklah mudah. Dari orang bertengkar urusan rumah tangga, urusan warisan, urusan kelahiran, kematian bahkan maling sekalipun menjadi makanan sehari-hari. Belum lagi saat ia harus memantapkan diri sebagai bawahan camat, tapi terpenting yang harus jelas dan tidak boleh terlihat buram adalah sebagai bawahan Tuhan.

Tahun ini pun warga desa masih bertaruh keyakinan dan harta untuk mendukung diantara dua kubu kuat, mantan lurah Pingi dan inkamben lurah Jiwo. Sebenarnya kontestasi ini akan terlihat sebagai contoh sederhana dari apa yang kita sebut negara demokratis, seperti negara demokratis lainnya yang menyanyikan lagunya dengan lugu. Anehnya, lagunya tak terdengar nyaring di saat yang tepat. Kenapa? Tidak tahu.

Melompat lagi, lantas apa yang menjadi persyaratan untuk bisa mencalonkan dirinya sebagai pemimpin?, “Dicari manusia yang bisa mendamaikan dengan membawa potret peradaban yang denyut kehidupannya tak berhenti sedetikpun, membawa sari pati nikmat kehidupan tanpa lara yang berkepanjangan. Meski tak mungkin ia menjadi pemilik udara segar, air jernih, hijau pepohonan, tanah berlapang-lapang, karena kita tahu kitalah miliknya tanah”.

Yang jelas yang kami takutkan jika ia yang terpilih menjadikan “konsep kepemilikan” sebagai landasan ia bertindak. Takutnya lupa dan menjadi Tuhan dalam dirinya. Tapi kami sendiri juga tak yakin jika pemilihan ini bukanlah sekedar selebrasi kecil kami yang mudah terlupakan dibanding dengan kompleksitas kehidupan kami sendiri yang terlihat hanya di permukaan saja, belum sampai jauh mendalam menyentuh dasarnya dasar.

Akirnya Juli tiba dan menjadi saksi betapa, betapa dan betapa. Pasukan berbaju hitam mengiringi langkah, menunjukkan sorak riuh dukungan. Tidak, bukan satu dua orang, tapi ratusan bergerilya bergerak. Takjub bukan main bagi kami, yang juga membuat runtuh pucat kubu lawan. Semoga yang terpilih tidak hanya terlihat bersahaja, tapi juga memiliki sifat manusiawi yang meskipun tidak bisa terjamin.

Komentar

  1. Di desaku, kontestasi macam ini juga menjadi sebuah arena pertaruhan yang cukup sengit. Ada empat calon yang berniat untuk "merubah desa menjadi lebih baik". Para kontestan bertaruh banyak hal, dari mulai keuangan hingga kepercayaan. Desa yang lugu seolah terbelah menjadi beberapa wilayah pengaruh. Mereka yang menjadi timses dengan sangat tekun mendatangi setiap rumah dan menawarkan ini itu sebagai kompensasi suara yang harus kami berikan nanti. Seru memang bila melihat ini dan menginterpretasikannya sebagai geliat demokrasi, namun cara mereka memenangkan hati para pemilihnya itulah yang kadang membuat kami (saya) mengelus dada.

    BalasHapus
    Balasan
    1. memanv dimanapun tempatnya di negeri ini sepertinya memang masih demikian. mhhhhh, sudah suratan takdir kali ya. Tapi kita harus tetap optimis, suatu saat pasti akan ada kontestasi yang pure menunjukkan idealisme tinggi dengan independensinya, yang memang berniat untuk arah yang lebih baik. Semoga!

      Hapus
  2. Tak perlu menengok jauh jika harus berbicara ttg politik ataupun Demokrasi. Kadang refleksi itu sudah hadir di akar rumput sekalipun.
    Yang jelas, masih banyak diantara kita yang mengutuk cara berpolitik pejabat atas tapi abai dengan perpolitikan masyarakat kecil.
    Mungkin memang sedang darurat pemimpin juga nih dunia.
    Eh, atau yg layak jadi pemimpin tidak koar2 bahwa dirinya pantas jadi pemimpin?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangankan akar rumput yang masih di desa. kita sebagai cabangnya rumput, remahan rempeyek, atau apalah itu kita kadang juga abai soal demokrasi di dalam rumah tangga. hahahaaa

      Tidak usah berkoar-koarpun, kepala rumah tangga itu ya bapak, nah jadi sepertinya kalau memang layak jadi pemimpin banyak orang pasti nanti juga dikoar-koarkan orang banyak. hee

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanpa Judul

Let's go to Pantai Ngalur Tulungagung

Dari Kediri ke Tulungagung