MENCARI KEADILAN
MENCARI KEADILAN
Sering
kali niat baik memang harus dicek kembali. Tidak tahu apakah benar atau salah,
apakah akan muncul kekhawatiran berlebih saat niat itu terlaksana. Apakah yang
kita yakini itu memang benar-benar benar, bagaimana cara kita mengejawantahkan
keyakinan itu ke dalam bahasa yang pas untuk disampaikan kepada orang lain
sehingga mempunyai pemikiran yang sama persis. Meskipun tidak mungkin bisa
sama, pasti ada lebih atau kurangnya. Terkadang, tersebab pembelengguan yang
kita lakukan pada pemikiran kita hanya menghasilkan pribadi pemikir. Boleh sekadar
pemikir, asal ia tidak hanya berfikir dengan logikanya, tapi juga dengan seluruh
kehidupannya. Pemikiran yang adil sedari awal, yang proses dan hasilnya
bersifat bebas. Seandainya memang itu bisa dilakukan. Tentu saja kita tetap
harus bergerak dinamis, tetap tidak boleh menyerah untuk membentuk konsep
keadilan.
Baik
petani, buruh, pedagang kaki lima, pokonya semuanya yang mendiskripsikan kaum
marginal pasti tidak semuanya tahu bahwa mereka telah menjadi bahan diskusi
selama beratus-ratus tahun. Ya, karena tidak semua dari mereka bisa mengakses informasi
dari pelbagai penjuru dunia. Edan! Jangankan dunia, yang mereka tahu hanya
mencari makan untuk bisa bertahan hari ini, bukan besok atau lusa. Lagi-lagi
konsepsi keadilan bagi mereka menjadi topik-topik dalam diskusi panjang
mahasiswa di gang-gang sempit, emperan warung bahkan sampai dalam ranjang pun
masih didiskusikan. Apalagi pemerintah, sudah seharusnya mereka memikirkan
sampai ke akar-akarnya, sampai kita tidak bisa tahu akar itu akan tumbuh lagi
menjadi cabang-cabang baru. Tentu, betapa rumitnya rumit. Tapi tetap saja,
mereka masih bisa tidur malam dengan santai, bahkan ada yang sampai tidur juga dalam
rapat karena asiknya tema yang mereka bahas. Sungguh bahagia, topik itu
didiskusikan dalam mimpi para pejabat elit yang mengaku concern terhadap nasib mereka. Alamaaaak! Sungguh luar biasa
jasa-jasa beliau ini.
Jika
kita tarik lagi dalam putaran waktu, mengingat sang legenda dunia Fidel Castro,
seorang pejuang revolusi dan politikus Kuba yang memiliki haluan komunis, pasti
kalian berdejak kagum dengan perjuangan Castro. Ia tampil untuk mengingatkan
praktek ketidakadilan dari relasi kuasa dan otoritas. Meskipun pada akhirnya ia
tetap tidak bisa lepas dari apa yang menjadi prinsipnya. Ia tetap hidup dalam
gelimang harta yang mungkin tidak dimiliki oleh banyak rakyatnya. Tapi dengan
prinsip yang dimilikinya, ia berhasil mengubah wajah Kuba menjadi negara yang
makmur bukan dengan hartanya, tapi dengan kecukupan pendidikan yang mereka
miliki. Sebagai contoh, saat di embargo oleh Amerika, Kuba berhasil mengirim
pasukan dokternya kepada banyak negara yang mengalami bencana maupun perang,
dengan ini Ia mentransaksikan beberapa keuntungan yang bisa di dapat untuk
rakyatnya. Meskipun bisa diartikan, rakyatnya hanyalah massa yang tak berwajah
karena pada akhirnya prosesnya sudah dikebiri oleh ideologi pemimpinnya
sendiri.
Berbanding
tebalik, jika kita menyelam ke dalam bangsa Eropa misalnya, mereka berada dalam
kecukupan, mereka berdenyut setiap saat, mereka menjadi mesin etos kerja
produktif yang terus berlomba. Yang maju ialah yang mau bergerak. Meski pada
akhirnya mereka hidup dalam kekosongan. Mereka hidup hanya untuk berkompetisi,
belum tentu mereka menikmati apa yang mereka perjuangkan. Warna ideologi ini
tentu saja membuat dampak yang berbeda sama sekali satu dan yang lain. Sedangkan
yang mengaku mempunyai paham nasionalisme, bersumber dari identitas budaya ternyata
tidak bisa lepas dari kebenaran politik. Yang lagi-lagi, kebenaran politik ini
tentunya bergantung pada pelbagai ketergantungan lainnya, termasuk di bawah
tata kekuasaan lainnya. Padahal jika kita tafsirkan lagi, independensi
sangatlah penting dalam pencapaian prinsip.
Jadi,
dengan sangat berat hati memang polarisasi yang sengaja ingin memperlihatkan orientasi
kanan, kiri pun arah yang baik menurut identidas budaya tetap semuanya tidak
bisa lepas dari unsur materialisme: makhluk konkret, menggiurkan, dan paling
pintar menjebak dalam hidup. Menanampaksakan konsepsi keadilan yang lahir dari
tingkatan proses berbeda yang menjelma menjadi keyakinan memang belum tentu
baik, karena yang baik belum tentu benar dan sebaliknya benar belum tentu baik.
Dan yang paling sulit adalah karena orang tidak bisa menyatakan telah
menyelesaikan masalah ketidaksamaan apapun tersebut secara negatif jika kita
tidak meneliti masalah ketidaksamaan atau keberagaman yang terikat satu sama
lain.
Tulisan yg seperti biasa, reflektif. Dan bisa dibaca kapan aja.
BalasHapusAku jadi ingat omongan simbah, orang Jawa itu punya dua; bener lan pener. Keduanya harus beriringan
Ntapsssss
makasih :))
Hapusemang banyak banget yg tak ambil dari tulisane simbah mas bro. selain ada penulis lain juga sih. pokoknya asupan energi positif harus ditambah terus. hehe
Tulisannya so inspiring., sangat mencerminkan kondisi saat ini,. Ditunggu karya-karya selanjutnya. . Ntaaabs
BalasHapusweheeu, terima kasih
HapusKadang para dewan gembar-gembor sosoialisasi makan ubi sebagai pengganti beras, eh pas jam makan siang, tetep aja makanan yang tersedia nasi.. Kan anu, ya?
BalasHapusanunya anu mas😂 jadinya onoh. nggak jelas 😅
HapusKadang dunia terlalu rumit
BalasHapus