Pawon





PAWON

Orang jawa memang memiliki tata bahasa yang ajaib. Bahasanya mungkin bisa disadur dalam bahasa Indonesia atau bahasa lain, tapi tetap kedalaman makna dalam bahasa itu tidak bisa ikut disadur. Seperti kata pawon, pa+awu+an, menjadi kata dalam bahasa Jawa yang memilki makna lebih bukan sekedar berarti dapur dalam bahasa Indonesia. Orang Jawa meyakini jika pawon ini memiliki artian lebih dalam kesehariannya. Pertama tentang tata letak pawon, yang selalu di belakang. Tentu ada perbedaan jelas antara ruang tamu dan dapur dalam artian ruang tamu menjadi ruang publik sedangkan dapur menjadi ruang domestik. Ruang publik ini memiliki dimensi yang lebih luas dan terbuka dimana hukum masyarakat dimulai dari kelola tata ruang publik ini. sedangkan ruang domestik hanya sebatas tata kelola keluarga untuk hajat hidupnya seperti memasak, mencuci, membersihkan diri dan lainnya. Sebagai tambahan, ada pawon yang memiliki pintu belakang, pintu belakang ini digunakan para perempuan untuk menciptakan ruang publiknya sendiri dengan tetangganya pun dengan istri-istri lain sehingga mindset yang positif dari perempuan inilah yang akan memberikan vibrasi yang positif pada ruang tamu. Dengan kata lain, sebenarnya dari ruang domestik inilah penentu kenyamanan ruang tamu itu sendiri sebagai ruang publik. Nah pertanyaannya adalah apakah konsep yang demikian ini menjadi dogma atau memang nasib? Orang Jawa dulu bilang “wong wedok iku berarti konco wingking”, maka penempatan itu sesuai dengan tempatnya. Pertanyaan yang kemudian muncul apakah ini berarti sebuah pengkerdilan terhadap nilai-nilai pada perempuan yang bisa melemahkan mentalitas sehingga mempengaruhi psikologis perempuan, bisa menjadi minderan. Padahal jika dilihat ulang kekuatan perempuan itu tangguh luar biasa. Sebagai contoh yang seringkali ditemukan di masyarakat adalah ketika suami meninggalkan istri mungkin karena perselisihan atau terlebih karena meninggal, kebanyakan perempuan akan lebih memilih untuk sendiri dalam membesarkan anak-anaknya, tidak mencari pendamping baru ketika ia rasa pundaknya masih kuat untuk menanggung. Perempuan berfikir lebih apakah nantinya suami barunya akan menyukai dan menyayangi anak bawaan keluarga terdahulu ketimbang kebahagiaannya sendiri. Nah kalau laki-laki gimana? tentu kalian tahu sendiri.

Jika dibahas ulang, tentu konsep ini berhubungan dengan konsep gender. Bahwasannya bukan berarti harus sama tatarannya, besar tanggungannya, tapi hak yang dimiliki. Bahkan konsep kepemimpinan juga bisa bertukar. Selama ini, perempuan acapkali terpojok akan feminisasi kemiskinan, perempuan sangat rentan dengan kemiskinan. Contoh yang nyata adalah patriarki dalam hal diskriminasi seks pembagian kerja, perempuan yang misalnya bekerja di pabrik bekerja dengan jam lebih banyak tapi gaji yang diterima lebih sedikit. Tentu hal demikianlah yang menjadi promotor penggerak perjuangan perempuan dalam mencapai emansipasi wanita. Apalagi jaman dahulu karena dinggap perempuan sebagai konco wingking tadi, perempuan tidak bisa menikmati sedapnya ilmu pengetahuan di bangku sekolah. Dulu Ibu Kartini berjuang sekuat tenaga agar kita sebagai perempuan bisa mendapatkan hak yang sama meskipun adil belum tentu berarti sama dengan atau sama besar. Kesetaraan ilmu ini yang harusnya progresif, karena jika tidak demikian bisa menjadi titik kulminasi dimana hak-hak sebagai manusia yang bebas seutuhnya terambil dan sebagai akibatnya akan berdampak dalam banyak hal. Seperti contoh adalah banyaknya perceraian rumah tangga sebagai titik kulminasi dari kestatisan hak-hak tersebut. Konsep yang perlu kita amini adalah bahwasannya emansipasi perempuan itu sudah diberikan sejak lahir, jadi laki-laki tidak memiliki hak untuk memberikan emansipasi pada perempuan. Perempuan pula merupakan makhluk non gender karena perempuan bisa melahirkan perempuan dan laki-laki, jadi gender itu hanya untuk laki-laki. Selain itu perempuan juga harus memiliki ruang yang lebih untuk berfikir. Maka dari itu selayaknya tugas laki-laki adalah sebagai pengerucut pilihan dan perempuanlah yang memilih darinya.

Komentar

  1. Saya tertarik dengan penjelasan tentang bagimana ruang domestik ternyata menentukan ruang publik. Serta tentang kemungkinan pemaknaan ulang kata wingking atau posisi belakang yang selama ini diasosiasikan dengan pengikut/manut.
    oh iya, berbincang soal Gender, jadi inget soal lima gender yang ada di masyarakat Bugis!

    BalasHapus
    Balasan
    1. menarik, mungkin bisa ditulis mas yang ada di masyarakat Bugis itu..

      Hapus
  2. Menarik. Mungkin kapan2 kita bisa diskusi untuk membahas wanita, ya. Biar para lelaki dapat lebih paham tentang wanita

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanpa Judul

Let's go to Pantai Ngalur Tulungagung

Dari Kediri ke Tulungagung