SUMELEH (2)
S U M E L E H (2)
Sudah
seharian ini Sumarni berkeliling kampungnya, membantu pemuda desa untuk
berkeliling menyemprot disinfektan di jalan pun rumah-rumah warga. Jalan besar,
gang-gang sempit ia lalui dibawah terik matahari. Ya, penduduk bumi sedang
mengalami kesedihan. Sudah seminggu bencana menghampiri negaranya, begitu
menakutkan. Memerangi virus yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang
sangat menguras pikiran. Sudah seminggu pula berita yang tersajikan di tv hanya
bisa memunculkan psikosomatis, terlebih menyisakan derita bagi keluarga yang
bekerja harian. Lengang, jalanan ibu kota menjadi milik pribadi bapak-bapak penjual
keliling. Meski tak begitu kentara imbasnya menyerbu desa-desa yang berada di
pelosok termasuk desa Sumarni, tapi ketakutan tetap saja mengecam mereka.
Sehari
sebelumnya, Sumarni mendapati tetangganya sendiri baru pulang dari luar kota. Gawat!
Kota itu termasuk dalam daftar merah yang sudah terjangkit virus menyeramkan
itu. Sayangnya, tetangganya itu tidak melapor keberadaannya ke pemerintah desa
setempat yang sudah seharusnya memberitakan bahwa ia baik-baik saja dan akan
menyendiri selama 14 hari di dalam rumah. Segera setelah mendapatkan kabar itu,
Sumarni langsung menghubungi ibunya lewat pesan telepon: “Mbak, njaluk tulung sampen omongi anak e sampen kon nang njero omah
selama 14 dino, yo. Iki anjuran soko pemerintah”. Sayangnya, ibunya menjawab:
“Iyo, iku bocahe metu wingi mung njipuk
motor, bocahe yo sehat kok”. Jawaban yang tidak memuaskan itu membuat
Sumarni mengirimkan selebaran surat dari pemerintah. Lantas, tanpa jawaban ia
mendapati gawai milikknya.
Kembali
sore hari sesudah penyemprotan, tetangganya kembali mengirim pesan kepada
Sumarni. Pesan itu berbunyi: “Sum, lek
nyemprot maeng ki opo dipilihi to omah e? Aku sedino neng omah terus pas enek
wong akeh aku yo metu tapi ndak enek seng mlebu omahku”, setelah membaca
pesan itu, lantas Sumarni menjelaskan kemungkinan rumahnya tidak sengaja
terlewati. Tapi dengan nada yang kurang enak tetangganya membalas lagi pesan
tersebut: “Lha wong aku neng njobo kok
kabeh podo meneng, dipilihi paleng”. Rasa jengkel memenuhi pikiran Sumarni,
ia sudah menjelaskan berkali-kali bahwa kemungkinan besar rumahnya terlewati
tidak sengaja. Dalam hati ia berkata: “Lha
wong wes eruh enek wong nyemprot, neng ngarep kok ndak gelem nyopo. Meskipun cah-cah
ndak sengojo salah, seng nduwe omah payo kudune sadar nyopo uwong”. Sorenya
lagi Sumarni mendengar kata pedas yang ia dengar dari tetangga lainnya, yang
menceritakan bagaimana bebalnya anak yang baru pulang dari luar kota tadi
berkata dengan egonya bahwa ia tentu saja sehat: ”Lha aku lo mesti tuku pembersih tangan, neng ngendi-ngendi gawe masker,
muleh nggawe kereto eksekutif. Kurang resikan piye”.
“Semprul!”,
celoteh Sumarni. Selama ini ia menganggap bahwa anak itu adalah anak yang
pintar. Tentu sebagai anak yang pintar sudah seharusnya ia memiliki kesadaran
lebih dari pada teman-teman di desanya yang kebanyakan tidak melanjutkan
sekolah di tengah jalan. Rasa jengkel datang karena memang ia tahu betapa besar
hati teman-teman yang menjadi sukarelawan tanpa imbalan membantu tetapi masih
ada saja orang yang berfikiran negatif terhadap mereka.
Kembali
lagi ia tidur, mencoba melupakan pikiran yang berkecamuk itu. Yang sebenarnya
sungguh sepele sekali jika dipikirkan dalam kondisi dingin. Ia mencoba
mengkatarsis batinnya lagi, mencoba mencari simbul-simbul dalam hatinya untuk
menjernihkan pikiran, untuk meredam nafsu marah dalam dirinya. Sumarni akhirnya
sadar memang tidak semua orang tubuhnya benar-benar hidup, yang perasannya
benar-benar terasah, dan semuanya tidak bisa hanya dihasilkan melalui cara
berfikir logika. Sering kali niat baik harus dicek kembali, dan memang benar kuncinya
adalah SUMELEH.
Sumeleh itu bahasa inggrisnya apa ya?
BalasHapusMemang saat sekarang ini, hal kecil terlihat besar. Dan hal besar terlihat kecil.
Orang yg terbiasa dgn hal besar, melakukan hal kecil saja kelimpungan. Huh dasar manusia
waduh, nggak ngerti aku bahasa inggrisnya mas bro. banyak kan bahasa jawa yang tidak bisa dibahasakan dalam bahasa lain, karena artinya yang luwes dan mendalam. menurutku. hehe
HapusAnda banar! Huh, dasar manusia! hahaaa
Orang-orang seperti Sumarni ini harus memiliki defense mechanism berlapis-lapis untuk menghadapi tetangga dan lingkungan yang serba cuek dan acuh.. Nays story, tapi mungkin disediakan translate mengingat pembaca setiamu tidak hanya berasal dari Jawa :)
BalasHapushahaaa masak iya ada yg dari luar daerah baca mas. kayak e masih sedikit sangat yang baca nah.
Hapus