Penantian


PENANTIAN

Angin berhembus menyusup lirih di sela-sela jendela ruang tamu itu. Tak ada suara lain yang terdengar selain samar-samar suara tokek yang muncul dari belakang atap kayu jati. Hanya ada satu meja kayu panjang yang dipakai untuk menerima para tamu yang datang dikelilingi kursi berbaris rapi. Rudi, anak satu-satunya di keluarga itu sedang duduk terpekur mengamati jendela yang sedari tadi tak lenyap dari pandangannya. Ia mencoba mendengar sayup-sayup suara motor yang terdengar dari jauh, berharap bahwa motor itu mengantarkan bapaknya pulang dari tanah rantau.

Ia mulai membuka tikar di sebelah jendela ruang tamunya itu, memandang dengan seksama atap dari kayu jati yang kokoh itu, pandangan itu membuat angannya kembali mengingat masa kecilnya.
Nyapo le tibo ye?” (kenapa nak, jatuh ya?), tanya bapaknya ketika melihat Rudi yang ia dapati menangis. “Wong lanang kui kudu tahan banting, ndak oleh nangis ya” (anak lelaki itu harus tahan banting, nggak boleh suka menangis).
Turuo neng njero kamarmu le, adem banget kilo” (tidurlah di dalam kamarmu nak, dingin banget ini), suara ibunya memecahkan lamunan yang sedari tadi menghantui kepalanya.
Dalam-dalam Rudi memandangi wajah ibunya yang semakin hari semakin kelihatan kurus, terlihat lebih tua, pipinya kempong dengan senyum yang terlihat dipaksakan. “Nggeh buk, mangke mawon” (iya bu, nanti saja), jawab Rudi sambil menyunggingkan semyumnya berharap bisa mengobati kecemasan hati sang ibu.

Sudah lebih dari tiga puluh kali dua puluh empat jam bapak Rudi tak bisa dihubungi. Rudi masih ingat, siang hari tepat hari senin bapaknya yang lama menjadi tenaga kerja di negeri seberang menghubunginya bahwa ia akan segera pulang meskipun suasana masih kacau karena wabah penyakit yang tengah menyerang dunia. Ia mengabarkan kepada anaknya via telpon, “Le, bapak engko ape nyebrang segoro, dadi ndak iso ditelpon sementara ” (Nak, bapak akan menyeberang laut, jadi sementara waktu kamu nggak bisa menghubungi bapak), begitulah pesan bapaknya siang itu.

Tiba-tiba air jatuh dari pelipis matanya, ia tak sanggup lagi menahan pilu perasaanya. Dadanya terasa semakin sesak mengingat dua minggu lagi ia akan menikahi anak orang, perempuan pilihan bapaknya yang sudah ia idamkan dari dulu menjadi menantunya. Sudah lebih dari dua minggu pula Rudi hanya bisa tidur di sebelah jendela berharap akan kedatangan bapaknya. “Duh Gusti, paringono aku sabar lan ikhlas” (Ya Allah, tolong berikan kesabaran lan keihklasan kepada hamba-Mu ini), begitulah doa yang selalu ia selipkan ketika sedih mendekapnya. Dan malam ini tenyata masih sama, Rudi masih belum mendapati bapaknya kembali dari tanah seberang.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanpa Judul

Let's go to Pantai Ngalur Tulungagung

Dari Kediri ke Tulungagung